Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku.
Lalu beberapa menit kemudian nomor itu menghubungiku lagi. Aku kembali melewatkannya. Kali ini karena tanganku sedang sibuk mengocok putih telur untuk mencapai kondisi soft peak. Jika kutinggalkan bisa menghasilkan gelembung udara yang akan membuat adonanku rusak. Aku tak ingin mengulang pembuatan meringue cake yang sudah hampir selesai hanya karena sebuah telepon dari entah siapa.
Aku menatap puas hasil kue buatanku. Meringue cake dengan saos raspberry. Dengan cepat aku memotret hasilnya. Telunjukku kemudian bermain di layar ponsel. Memilah-milah foto mana yang paling bagus untuk kuunggah ke media sosial. Selama ini, media sosial berperan sangat besar dalam menjual kue-kue bikinanku. Baru akan memposting foto di Instagram, nomor tak dikenal tadi kembali menelepon.
“Halo, ini siapa ya?” tanyaku lebih dulu.
“…..”
“Halo,” ulangku.
“Halo, Dian,” sapa seorang perempuan sambil terisak.
“Dini? Ada apa? Kenapa nangis? Oh iya, Kamu kok ganti nomor, sih?” Berondongan pertanyaan keluar dari mulutku.
“Kamu pulang ya, Yan,” katanya tak memedulikan pertanyaanku. Isaknya semakin besar.
“Papa meninggal.”
Ponsel di tanganku meluncur cepat ke lantai. Mementalkan bagian-bagiannya ke beberapa area dapur. Untungnya tidak pecah.
Aku bermimpi. Aku tahu itu mimpi. Karena aku berada di sebuah kapal motor yang diombang-ambingkan ombak besar.
Penumpangnya sebagian besar kukenal. Beberapa orang tante, om, dan sanak saudara. Ada juga Papa tapi dia berada di ruangan terpisah dari kami. Aku berjalan sambil berpegangan di kursi-kursi kapal. Aku hendak mencari Papa. Tapi ombak besar mendadak menggulingkan kapal motor itu. Aku langsung terbangun, tanpa pernah menemui Papa.
Mimpi itu terus melekat sampai aku mendaratkan kaki di bandara. Kata orang mimpi adalah bunga tidur. Tapi mimpi barusan tak semenarik bunga. Mimpi itu hanya membuat dadaku sesak dan sakit. Hiruk pikuk bandara membuat disorientasi tempat yang membawa sedikit kebingungan. Lalu aku sadar, aku sudah di rumah. Seorang perempuan berkacamata hitam melambai melihatku keluar dari pintu kedatangan. Kami saling rangkul diiringi tangis yang pecah. Tak memedulikan pandangan orang-orang yang heran.
Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang ramai. Tenda-tenda sudah berdiri memenuhi area depan rumah. Kursi-kursi plastik diatur sedemikian rupa dari bagian depan sampai ke pinggir jalan. Sebagian sudah penuh dengan para pelayat. Mata mereka tertuju padaku saat turun. Mata dengan tatapan kesedihan. Tatapan yang tak pernah kusukai jika menghadiri kedukaan.
Kakiku terasa berat ketika menginjak halaman rumah yang sudah dicor semen. Dulunya ini tanah berpasir. Saat masih kecil, Papa sering ikut bermain denganku membangun benteng pasir di bawah pohon mangga dodol yang sudah seumuran kakak tertuaku. Papa juga sering menemaniku bermain kelereng di halaman ini. Kenangan masa lalu langsung membanjiri kepalaku. Aku tertahan sebentar. Mataku mulai terasa panas.
Keadaan rumah tak banyak berubah. Rumah yang sudah dibangun sejak tahun 1960 ini masih sama seperti terakhir kali kutinggalkan. Dinding yang berwarna pastel padan cokelat tanah pada kayu-kayu jendela kecil. Jendela-jendela besar yang memiliki kaca sudah dilepas dari engselnya. Dibiarkan terbuka agar udara leluasa masuk ke dalam ruangan. Krans-krans duka digantung hampir di semua sisi rumah. Ada krans bertuliskan ucapan duka dariku dan Dini sebagai anak.
Mata-mata masih menemani ketika kakiku memasuki ruang tamu. Terasa ganjil. Kursi-kursi plastik berjejer sepanjang dinding. Di bagian tengah diletakkan sebuah tempat tidur, di atasnya ada peti kukuh dari kayu lingua. Seharusnya ruang tamu ini tak seperti ini. Dulu, sofa-sofa empuk di sepanjang ruangan, lalu ada lemari kaca berisi bunga-bunga cantik. Belum lagi guci-guci besar di sudut ruangan. Entah sudah dipindahkan ke mana semua itu. Tersisa sebuah sofa lebar berwarna maroon. Itu sofa kesukaan Papa. Papa paling senang bersantai di sana sepulang kerja. Aku akan menemaninya sambil makan Silverqueen yang dibelikannya. Kami akan bersenda gurau lalu tertawa akan cerita-cerita konyol Papa.
Aku memandanginya. Dia sedang pulas. Tertidur tanpa beban. Senyuman tipis menghiasi wajahnya yang kaku. Bulir air yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh juga. Menetesi celana pantalon yang dia kenakan.
“Selamat hari Valentine, De.” Itu kata-kata pertama yang dia ucapkan di telepon beberapa minggu lalu.
“Selamat hari Valentine juga, Pa.”
“Kamu bisa pulang nggak, De?”
“Aku masih sibuk urusi bisnis kue aku, Pa. Banyak pesanan dan acara besar yang harus aku hadiri. Nggak bisa janji.”
“Tapi kamu kan udah lama nggak pulang. Udah 2 tahun 3 bulan 8 hari, loh. Kamu nggak kangen sama Papa?”
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.
“Ya sudah. Kamu baik-baik di sana ya. Papa akan menunggu kamu pulang, kapan saja. Banyak-banyak istirahat dan jangan lupa banyak minum air putih, ya.”
“Iya, Pa. Papa juga jaga diri, ya.”
Sudah 2 tahun lebih ternyata. Aku tak menyangka jika Papa setia menghitung hari-hari yang memisahkan jarak kami. Sejak memutuskan hijrah ke Ibukota, aku memang jarang pulang. Hanya dua kali dalam kurun enam tahun.
“Yan, Papa sakit.” Dini meneleponku sehari setelah percakapanku dengan Papa.
“Sakit apa?” tanyaku sedikit cemas.
“Katanya sesak napas.”
“Udah dibawa ke dokter?”
“Dia nggak mau.”
“Paksa kek, biar dia mau.”
“Udah aku paksa tapi dia kekeuh bilang nggak apa-apa. Aku mesti gimana dong? Kalo ada kamu pasti dia nurut kamu ajak periksa. Aku mah boro-boro,” keluh Dini di ujung telepon.
“Kamu urusin, dong, Din. Aku kan jauh. Cuma bisa ngomel-ngomel di telepon aja.”
“Ya kamunya pulang, dong. Biar Papa senang.”
“Aku belum bisa. Nanti aja. Eh, udah ya, aku ada customer, nih. Nanti telepon aku lagi. Titip sayang buat Papa.”
Lalu pesanan-pesanan yang semakin bejibun membuatku lupa untuk sekadar menanyakan kabar pada Papa. Beberapa kali telepon dari Dini dan Papa kulewatkan karena aku benar-benar sedang hectic. BBM dan Whatsapp pun tak pernah sempat kubalas. Jika malam hari terpikir untuk menelepon balik namun saking lelahnya, aku lupa. Pagi langsung kuisi dengan kesibukan tiada henti. Begitu setiap hari. Bukan beralasan tapi memang seperti itu kenyataannya. Sampai Dini meneleponku dengan nomor asing.
Aku duduk di tepian peti. Dini duduk di sampingku. Terisak tanpa henti sejak aku datang. Bahkan mungkin tak berhenti sejak di rumah sakit kemarin. Khotbah dari Pendeta tentang kematian tak terdengar jelas di telingaku. Mataku hanya fokus pada dia yang sedang terbaring di dalam peti. Pikiranku sedang berkelahi. Antara menerima kenyataan dan tidak. Semua terasa absurd.
Bagaimana mungkin Papa sudah tidak ada? Bagaimana mungkin aku tak akan pernah melihatnya lagi? Bukankah Papa berjanji akan menungguku pulang?
*Diturutsertakan dalam giveaway #tantanganmenulis dari @ManDewi