Ayahku yang Baik

Ayah tidak memperbolehkan aku keluar lagi hari ini. Kemarin tidak boleh. Kemarinnya lagi juga. Sudah berhari-hari tidak boleh. Aku bosan. Walau begitu dia ayah yang baik. 

Katanya monster akan menangkapku jika aku keluar. Sejengkal saja kakiku melangkah melewati pintu kamar, monster itu pasti akan memakanku.

Kamarku sederhana tapi cukup lega, ada tempat tidur dan toilet. Lemari bajuku menempel sepi di sudut ruangan. Tidak banyak isi di dalammya karena aku jarang ganti baju.

Tadi pagi ayah mengetuk pintu dua kali. Lalu dari balik pintu kecil yang dibuatkan khusus, ayah memasukkan nampan berisi makanan. Sarapanku. Begitu setiap hari. Jika ayah membawakan makanan dia akan mengetuk dua kali. Tiga kali untuk minuman.

Lalu ketukan satu kali?

Kata ayah jangan pernah membahas itu. Pemali.

Yang kuingat selalu ada ketukan satu kali di tengah malam di hari-hari tertentu. Aku harus membuka pintu. Lalu ayah akan masuk ke dalam kamarku. Dia baru akan keluar kamar setelah hasratnya terpuaskan. Lalu berpesan,

“Jangan pernah keluar kamar nanti monster akan memakanmu.”

Saksi

Gadis ini kubunuh di apartemen nomor 537. Aku tidak membencinya, hanya saja membunuh adalah hobiku. Sudah berapa ya? Sebentar… 6,7, ehm, yang pakai scarf merah, yang rambutnya keemasan, waaaahh, sudah 10. Iya, gadis ini korban kesepuluh. Senangnya.

Apartemen ini adalah bangunan tua yang terletak di pinggiran kota. Rumor atas hal mistis dan kasus bunuh diri yang terjadi bulan membuat apartemen ini hilang peminat. Padahal unitnya semua masih bagus dan terawat.

Unit yang kutempati pemandangannya langsung ke apartemen mewah yang baru saja diresmikan minggu lalu. Aku sementara membersihkan bercak darah di tanganku sambil melongok keluar jendela yang teralisnya kubuka. Ah sial, tak sengaja aku menumpahkan kotak obatku yang lupa kukembalikan ke tempat semula. Botol plastik berwarna transparan menggelinding. Di dalamnya berisi beberapa kapsul warna biru. Jenis obat baru yang diresepkan pak tua yang sering kudatangi. Katanya baik untuk menenangkan refleksku. Dia berpesan aku akan baik-baik saja setelah meminumnya asal tidak ke mana-mana.

Di seberang sana, pada ketinggian yang sama aku melihat diriku sendiri sedang melihat diriku di sini. Aku mengerjapkan mataku. Ilusi kadang terjadi ketika diri terlalu pongah. Bisa saja aku hanya berkhayal. Tapi berapa kali pun aku mengerjapkan mata. Aku pun sudah menampar pipiku—dan itu sakit, tetap saja ini bukan imaji. Di sebelah sana aku benar-benar melihat diriku sendiri yang sama herannya dengan diriku yang ada di sini.

Tunggu dulu…

Buru-buru aku menutup jendela dan berlari keluar unit. Kakiku melaju cepat menuju lift. Ketika pintu terbuka aku berlari melewati gadis manis berkuncir yang hari ini bertugas sebagai resepsionis. Aku naksir temannya yang berambut bondol yang tiap kali tertawa gigi gingsulnya nongol. Cantik sekali. Aku baru sekali berbincang dengan temannya itu, belum ada kesempatan untuk mengajaknya kencan karena aku takut ditolak.

Ah sial, bukan itu yang harus dipikirkan sekarang.

Derap kakiku melaju menyeberangi jalan. Aku berhenti sejenak di depan apartemen baru. Menarik napas selama 3 detik lalu memberi salam pada petugas keamanan yang juga kenalanku.

“Lu bukannya tinggal di apartemen sebelah ya? Kok gue sering liat lu bolak balik sini. Pakai sugih apa? Trus barusan belum lama gue ngeliat lu ke dalam kok sekarang ada di luar?”

“Keluar bentar,” jawabku asal-asalan. Ini semacam menjadi bukti konkret kalau apa yang kulihat tadi bukan sekadar imaji.

Aku berhenti di depan resepsionis. Seorang laki-laki muda berkulit cerah—hampir transparan menyambutku dengan senyum yang menyenangkan.

“Masih ada yang bisa kubantu, Pak?” Suaranya selembut musik klasik pengantar tidur. Kuasumsikan dia juga mengenal diriku yang ada di sini melihat dari gerak tubuhnya.

“Kamarku.”

“Ya, ada apa dengan kamarnya?”

“Nomor berapa?”

“Eh, maaf?” Dia tampak sedikit bingung.

“Kamarku yang di sini. Nomor berapa?” ulangku.

“Bapak sudah menginap di sini selama 3 hari.” Tatapannya kini berisi keheranan.

“Aku punya short term memory loss. Gampang lupa apa yang baru saja dilakukan,” jelasku sekenanya. Dia mengangguk tak pasti.

“Baiklah. Kamar 537.”

“Oke terima kasih.”

Aku disambut penjaga lift yang bagian dada dan lengannya kencang karena sering dilatih. Sedikit lebih pendek dariku. Penjaga lift berbaik hati menekankan tombol lantai yang ingin kutuju. Lalu mengucapkan salam basa basi ketika lift berhenti di lantai yang kutuju.

Langkah tergesaku berhenti di pintu kayu mahoni yang catnya masih berbau. Kubaca lagi nomor kamar yang tertulis di pintu. 537. Persis nomor unit apartemenku juga. Bedanya yang ingin jauh lebih berkelas dan mewah.

Aku baru akan mengetuk pintu saat pintunya terbuka. Aku berdiri di dalam. Bukan, dia yang mirip aku. Atau aku yang mirip dia. Aku tak bisa memastikan karena bentukan kami sama persis.

“Silakan masuk,” ajaknya. “Aku sudah menunggumu.”

“Kau siapa?” tanyaku langsung.

“Darius. 30 tahun. Lahir di Magelang.”

“Bohong!”

Dia menggelengkan kepalanya. “Satu-satunya hal yang tidak mungkin kulakukan adalah berbohong.” Dia menyalakan rokok yang baru saja diambilnya dari atas meja. Menggesek-gesek jari telunjuk dan tengah ke bagian filter. Mengembuskan asap dengan bibir bawah yang maju. Mengisap sebanyak 4 kali lalu dipadamkan dan fokus pada lawan bicara. Itu kebiasaanku.

“Tapi itu semua adalah diriku. Aku Darius. Aku 30 tahun. Aku lahir di Magelang.”

“Demikian pula aku.”

“Bagaimana bisa?”

Dia hanya mengendikkan bahunya. “Bedanya adalah aku bukan pembunuh.” Dia menyeringai. “Bedanya aku tidak pernah diperlakukan kasar oleh perempuan yang melahirkanku. Perempuan toxic yang membuat hidupku berantakan seperti sekarang ini.”

“A-apa…”

“Bukankah demikian yang terjadi padamu?”

“Ba-bagaima…”

“Bagaimana ku tahu? Bukankah jelas? Aku adalah kamu dalam versi yang jauh lebih baik. Yang hidupnya sukses, lahir dari keluarga bahagia, bisa punya segalanya dan bukan pembunuh.”

“Tidak. Kamu bukan aku.”

Dia berdiri mendekatiku. “Aku adalah kamu.”

“Bu-bukan.”

“Aku adalah kamu,” ulangnya. “Tapi bukan pembunuh. Manusia kotor dan gagal.”

Aku menggeleng kepalaku. Ini pasti hanyalah mimpi buruk. Tidak mungkin aku punya kloningan.

“Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh.” Dia terus mengulang itu seperti kaset rusak. Membuat telingaku sakit. Isi kepalaku mau pecah.

“Diam.”

“Aku bukan pembunuh.”

“Diam.”

“Aku bukan pembunuh.”

“DIAM!”

Buk!

Tinjuku sudah melayang ke rahangnya. Dia terhempas jatuh ke lantai kayu yang baru saja dipoles. Ujung bibirnya mengeluarkan darah segar. Seketika itu juga kami langsung bergulat. Saling melempar tinju ke arah wajah dan perut. Hal berikutnya yang terjadi aku sudah memukul kepalanya dengan keras menggunakan asbak kaca tebal yang ada di meja. Debu rokok bertebaran serupa confeti. Dia ambruk. Darah merembes ke kemeja putih yang dia kenakan lalu meluap ke lantai.

Aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Membunuh adalah hobiku. Tapi bukan membunuh diriku sendiri. Tidak. Dia bukan diriku. Kami hanya mirip.

Kedua tanganku terasa ringan. Kakiku. Tubuhku juga. Sensasinya membuatku melayang bak kapas. Yang kusadari adalah tubuhku perlahan-lahan mulai memudar. Persis adegan ketika Thanos menghilangkan setengah populasi manusia di dunia dalam film Avengers. Terurai seperti kertas yang dicacah halus di mesin penghancur.

Tidak ada apa-apa selain kekosongan di sini. Aku tidak bisa melihat diriku sendiri. Apa begini rasanya mati?

Kemudian aku bisa merasakan sekitarku menguat.

“Dia sudah sadar, Dok.”

Seseorang berpakaian putih mendekatiku. Aku mengenali wajahnya. Laki-laki tua yang sering kukunjungi untuk sekadar bercerita atau mengambil obat selama tiga tahun ini. Dia laki-laki tua yang baik. Yang selalu mengingatkanku agar rutin meminum obat yang dia resepkan. Kalau diingat-ingat, hanya dia orang baik dalam hidupku. Dia yang mengajariku caranya mengiris arteri dengan benar agar korban tidak berontak tapi matinya cepat.

“Kamu ketahuan,” bisiknya.

Di belakangnya berdiri tiga orang.

“Kalau dia sudah sadar kami akan segera membawanya ke kantor polisi,” kata salah seorang.

“Saudara Darius, Anda ditangkap atas pembunuhan beberapa oang gadis…”

Ah sial. Aku ditangkap. Tapi setidaknya bukan karena membunuh diriku sendiri.

Thirst Trap

Layar ponselnya menyala. Muncul notifikasi.

“Jadi ketemu hari ini?”

Jemarinya mengetik cepat di kolom balasan.

Yup. Meet you at 12.”

Pesan balasan muncul dalam 10 detik.

“Oke. I wear no undies.”

Dia menarik bibirnya. Menyeringai senang.

Good girl.”

Dilemparkannya ponsel ke ranjang. Menyusul tubuh ringkihnya. Isi kepalanya membentuk konstelasi percakapan dan aneka imaji sejak seminggu yang lalu. Perempuan itu. Yang kegemarannya menampilkan foto atau cuitan seronok di linimasanya. Akhirnya akan ditemuinya.

Perempuan terakhir di tahun ini.

“Makan siangmu sebentar lagi datang, sayang.”

Di langit-langit menempel bayangan hitam yang ikut menyeringai senang.

Senja Hari Itu

Seperti biasa dia ada di situ. Di teras toko buku yang sudah tutup jelang maghrib. Duduk memandang langit senja yang mulai memudar. Semacam itu adalah ritualnya.

Aku, entah sejak kapan mulai memperhatikan hal itu. Memperhatikan dia. Anak laki-laki yang usianya dua tahun di atasku. Anak baru yang baru pindah sebulan yang lalu ke kompleks perumahaan ini.

Kapan ya? Sejak seminggu yang lalu mungkin. Saat kami pertama kali berkenalan. Aku baru saja keluar dari dalam toko buku. Menenteng beberapa buku bacaan. Dia ada di teras. Duduk diam di situ sambil bersenandung kecil.

“Seira kan?”

Hampir saja aku terjatuh karena sapaannya. Mendadak kakiku canggung menginjak lantai.

“I-iya.”

Bagaimana dia bisa tahu namaku?

“Aku nanya Ambi kemarin. Katanya nama kamu Seira.” Dia seakan menerjemahkan apa yang kupikirkan. Lalu seenaknya tersenyum. Senyumnya serupa palu, aku terpaku.

“Duduk sini dulu dong kita ngobrol-ngobrol,” ajaknya tanpa basa basi.

“A-anu, nanti aku dimarahi. Tadi janji sama mama jam 6 kelar baca buku harus pulang.”

“Baiklah. Besok aja kalau begitu. Bilang sama mama mau main sampai agak malam.”

Dan dia tersenyum lagi usai mengatakan itu. Senyum itu membuatku ingin bertahan lebih lama tak peduli nanti dimarahi mama. Kakiku yang membawaku menjauh walau pikiranku sempat menolak untuk beberapa saat.

Besok. Ya, besok. Aku akan memohon pada mama agar bisa pulang sejam lebih lama dari biasanya.

Aku sudah di teras toko buku sejak tadi. Senja sudah luruh. Langit sudah berubah gelap sejak beberapa menit yang lalu. Dia tidak ada di situ. Ada rasa tidak menyenangkan merayapi bagian dadaku.

“Seira.” Dia tiba-tiba saja muncul dari samping toko. Memamerkan senyum tanpa dosanya. “Tadi aku ada urusan sedikit di rumah. Jadi telat deh ke sini. Maaf ya membuat kamu menunggu.” Dia menjelaskan tanpa diminta. Lalu menghempaskan dirinya ke tangga teras.

“Tangan kamu?” Aku menunjuk tangan kanannya yang diperban.

“Ah ini. Tadi kena pisau pas mau ngupas mangga. Nggak papa,” jelasnya santai.

“Wah, aku jadi telat juga melihat senja menghilang. Padahal di sini spot paling bagus melihat matahari terbenam melewati pohon besar itu,” tunjuknya ke arah pohon mangga tertinggi dan terbesar di kota ini. Tingginya setara gedung berlantai 5. Pohon mangga itu sudah tumbuh di situ jauh sebelum aku lahir. Berdiri di tanah lapang yang sering dipenuhi anak-anak kecil bermain kejar-kejaran di sore hari.

Hari ini dia memakai jumper warna merah bata. Menyembunyikan kepalanya di balik tudungnya. Dia terdiam memandangi pohon mangga itu. Sepintas aku menangkap kesedihan di rautnya.

“Sejak kecil aku ingin menjadi seorang pilot,” katanya. “Menerbangkan pesawat melewati kota ke kota, melewati samudera ke samudera, melewati negara ke negara.” Matanya bercahaya. Mimpi-mimpi menguar dari sana serupa kerlip bintang. Kemudian cahaya itu meredup saat dia menundukkan kepalanya.

“Seira ingin menjadi apa nanti?” Dia menoleh dengan senyum khasnya.

“A-aku belum tahu mau jadi apa,” jawabku canggung.

“Seira nggak punya mimpi?”

“Mimpi?” Aku memainkan rambut ke belakang telinga sambil berpikir. Apa setiap orang diwajibkan harus mempunyai mimpi? Definisi mimpi saja bagiku baru sebatas bunga tidur. “Entahlah. Apa itu mimpi?”

“Hmm…” Dia menaruh jari telunjuk dan jempolnya di dagu seakan sedang merenung dan mencari jawaban. “Apa ya? Petunjuk arah mungkin,” jawabnya asal-asalan.

“Jadi orang yang tidak punya mimpi artinya sedang tersesat?” tanyaku.

“Ha ha ha. Iya ya. Tapi maksud aku sih, petunjuk arah agar kamu bisa meraihnya. Semacam jalur yang mengarahkan kamu agar fokus pada arah yang ingin kamu capai.”

“Dengan kata lain, mimpi hanyalah sebuah keinginan?”

“Keinginan yang harus diwujudkan.”

“Tapi dalam teori ekonomi, utamakan kebutuhan bukan keinginan? Keinginan kan hal sekunder dalam hidup.”

Dia terdiam sebentar. “Keinginan bisa menjadi kebutuhan saat kita yakin itu adalah tujuan kita. Saat kita yakin itu yang akan membuat kita ‘hidup’ dan berkembang.”

“Masuk akal,” tukasku. “Tapi aku belum tahu apa yang membuatku ‘hidup’ itu. Buatmu apa?”

“Senja. Aku ingin melihat senja yang berbeda di tiap kota yang dan tempat yang berbeda.”

“Sesederhana itu?”

“Yup.”

“Waduh, aku mesti pulang. Tadi janji ke mama pulang jam 7 ini udah lewat 10 menit.”

“Sampai ketemu besok?” tanyanya.

“Sampai ketemu besok.”

Dia sudah duduk di teras depan toko di hari berikutnya. Bahkan di hari-hari selanjutnya. Menunggu aku keluar dari toko buku itu. Kami ngobrol hal-hal sederhana selain mimpi. Kami juga tertawa untuk hal-hal yang sederhana. Lalu kami akan berpisah dengan ucapan yang rutin.

“Sampai ketemu besok?”

“Sampai ketemu besok.”

Tapi tak ada dia di hari esok. Aku tak mendapati dia duduk di teras toko. Hari berikutnya juga. Kupikir karena dia ada urusan atau tidak bisa keluar untuk sementara. Senja sudah berlalu sebanyak tujuh hari dan dia tetap tak menampakkan diri ke toko buku. Rumahnya hanya beberapa blok dari toko buku. Kupikir aku akan mendatangi rumahnya untuk tahu kabarnya.

Sore itu banyak sekali kerumunan di depan rumahnya. Ada garis polisi di depan pagar. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan rambut kriwil menuntun seorang laki-laki paruh baya keluar dari rumah tersebut dengan amarah. Wajah-wajah di belakangnya menunjukkan hal serupa. Samar-samar terdengar bisik-bisik di antara kerumunan.

“Tega sekali dia membunuh anaknya.”

“Iya katanya udah dibunuh selama beberapa hari yang lalu dan disimpan di dalam tembok. Ngeri kali.”

“Orang tua macam apa sesadis itu.”

“Katanya hanya karena anaknya ingin keluar sore itu dan dia sedang kesal.”

Aku hanya bisa membeku. Senja hari itu bukan jingga yang meneduhkan melainkan merah pekat penuh amarah.

AYAH

Aku sedang berjalan memasuki hutan gelap. Mengenakan piyama tanpa beralas kaki. Beberapa kali kakiku menginjak duri. Sakit sekali rasanya tapi aku tak bisa berhenti berjalan. Terus melangkah. Terus. Sampai ditelan kegelapan.

Seseorang memanggilku. Suaranya begitu familier. Tapi aku mati rasa. Aku belum bisa keluar dari dalam hutan. Aku masih terus melangkah dengan kaki berdarah. Suara itu terus memanggil, semakin lama semakin dekat di telingaku. Lalu tangan mungilnya mengguncang tubuhku.

“Ayah.”

Sontak aku tersadar dari mimpi burukku. Aku sudah kembali ke kamarku, tidak lagi di hutan gelap. Hanya saja, ada seorang anak perempuan dengan mata merah menyala berdiri di sudut kamarku.

*) tantangan FF 100 kata #HororisCausa dari @Melctra dan @Irfanaulia

#MyCupofStory – KALOSI

Ayah masih hidup.

Iya, Ayah masih hidup. Kalau tidak, siapa yang mengirimkanku biji kopi Toraja Kalosi tepat di hari ulang tahunku.

Hanya Ayah yang melakukan itu.

***

Sebuah paket tergeletak di atas meja di ruang kamarku. Kotor dan kusut. Seperti baru saja terjatuh di tanah berlumpur dan dibersihkan dengan terburu-buru. Namun aku masih bisa membaca namaku dengan jelas di antara bercak lumpur yang mengering.

Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa paket kotor ini masuk ke dalam kamarku? Masuk ke dalam rumah yang terkunci rapat saat aku sedang pergi kerja?

Aku mengguncang paket yang berupa amplop cokelat besar. Ringan dan tipis. Seolah isinya hanya udara. Tapi tanganku merasakan sesuatu yang mirip kelereng, tidak, serupa biji-bijian saat meraba permukaan paket.

Ujung paket kurobek dengan paksa sehingga robekannya tak teratur. Sebuah plastik yang berperekat meluncur keluar dari dalam paket. Mengingatkanku akan plastik sambal superpedas di tukang pecel lele langgananku di ujung gang. Aku terperenyak. Seluruh tulangku seolah berubah menjadi agar-agar. Di dalam plastik berperekat ada sebuah biji kopi.

Biji kopi Toraja Kalosi.

***

“Selamat ulang tahun, Sayang. Ayah mengirimkanmu bungkusan kopi terbaik hasil gilingan Ayah tadi pagi dan sebiji kopi Toraja Kalosi.” Suara Ayah terdengar ceria. Dia pasti baru saja menemukan citarasa kopi yang baru.

“Kapan Ayah kembali?”

Sudah lima hari Ayah berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Dia mendapat undangan dari seorang teman di sana untuk membantunya membuka kedai kopi. Ayahku seorang coffee roaster yang handal.

“Mungkin tiga hari lagi. Ayah masih harus pergi ke salah satu perkebunan kopi milik kenalan Ayah di sekitar Gunung Latimojong.”

Keesokan harinya aku menerima paket ulang tahun sesuai kata Ayah, bersama dengan kabar kalau kendaraan yang ditumpangi Ayah terjatuh di jurang. Dia dan sang sopir tak ditemukan jasadnya.

***

“Ayahku masih hidup,” kataku pada Henri saat jam makan siang. Henri adalah sahabat sekaligus supervisorku di Giardano. Dia menjadi satu-satunya temanku selama setahun ini.

“Hah?”

“Ayahku masih hidup,” ulangku.

Henri memberiku pandangan ‘kau sudah gila’.

“Aku menemukan paket berisi biji kopi kemarin saat ulang tahunku,” jelasku. Tak peduli jika Henri akan semakin berpikir kalau aku beneran gila.

“Siapa saja bisa mengirimkanmu biji kopi,” bisik Henri sambil menyeruput espresso-nya dengan hati-hati. Seolah obrolan kami adalah tentang rahasia dunia sehingga dia takut orang lain bisa mendengarnya.

“Kamu tidak akan mengirimkanku biji kopi. Orang lain tidak akan mengirimkanku biji kopi. Hanya Ayahku. Hanya dia yang akan melakukannya.”

“Losi, kita sudah sering membahas ini. Ayahmu sudah meninggal setahun yang lalu. Berhenti berpikir kalau dia masih hilang dan akan kembali secara tiba-tiba.”

“Tadi pagi aku menemukan paket lagi. Paket yang sama dengan yang kuterima kemarin. Isinya juga biji kopi. Itu pasti dari Ayahku. Dia mengirimkannya dari suatu tempat entah di mana. Aku bisa merasakannya.”

“Orang mati tidak akan bisa mengirimkanmu paket. Tidak ada tukang pos di akhirat.” Suara Henri meninggi. Aku hanya menatapnya diam.

“Losi…” Henri tidak lagi menatapku seolah aku gila, tapi lebih kepada rasa kasihan. “Sebaiknya kita kembali. Lima menit lagi jam makan siang kita selesai. Dan bersihkan pakaianmu, ada bubuk kopi menempel di rok.” Henri berdiri dan membayar ke kasir. Membiarkanku duduk terdiam sendiri.

***

“Kenapa Ayah sangat menyukai kopi?”

“Karena kopi adalah hidup Ayah.”

“Itu saja?”

“Itu saja.”

“Lalu kenapa Ayah menamaiku Kalosi?”

“Saat lahir kamu membawa aroma bumi. Sama seperti biji kopi Toraja Kalosi. Tapi kamu berbeda. Kamu unik. Kamu mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki orang lain.”

“Apa itu?”

“Sesuatu yang nantinya bisa menolong Ayah.”

Aku tersentak dari tidurku. Bulir keringat mengucur sebesar biji jagung. Terakhir aku bermimpi buruk saat Ayah dinyatakan hilang. Kali ini ada Ayah di dalam mimpiku. Dia mengatakan sesuatu yang aneh.

Tuk.

Sebutir biji kopi terjatuh dari langit-langit kamar.

Tuk.

Butiran lainnya jatuh.

Tuk.

Butiran ketiga. Semua dalam interval sedetik.

Tuk. Tuk. Tuk.

Tiga butiran berikutnya hanya berupa setengah biji kopi.

Tuk. Tuk. Tuk.

Lalu tiga butiran lainnya menyusul. Butiran biji kopi utuh seperti yang pertama.

Tidak ada apa-apa di langit-langit kamar. Hanya langit-langit kamar yang normal. Seolah biji-biji kopi itu jatuh begitu saja. Apa maksudnya ini? Aku mengurutkan biji-biji kopi itu sesuai garis waktunya. Tiga biji kopi yang utuh, tiga biji kopi setengah bagian saja, dan tiga biji kopi lainnya yang juga utuh.

Keningku mengerut. Rasanya seperti membaca sebuah pola. Apa ya artinya?

Aku meraih ponselku. Mengetikkan pola yang mirip dengan pola biji kopi yang kutemukan di kolom pencarian. Dadaku berdegup kencang saat melihat hasilnya.

•••—•••

SOS.

***

“Ayahku masih hidup,” kataku pada Henri. Kami bersiap untuk pulang.

Henri mengacuhkanku, sibuk dengan memasukkan laporan ke dalam tasnya. Hari ini toko kami sangat ramai karena menjelang akhir tahun begini orang-orang berbondong-bondong berbelanja. Apalagi Giardano menawarkan potongan harga cukup besar.

“Semalam dia mengirimkanku SOS. Dia butuh bantuan, Hen. Dia ada di suatu tempat dan ingin aku menolongnya. Dan kamu tahu apa yang luar biasa? Aku sudah tahu bagaimana cara untuk menolongnya.”

Henri yang tadinya tak peduli akhirnya terpengaruh juga.

“Losi… lama-lama aku akan berpikir kalau kamu sudah gila dan butuh bantuan. Berhenti melakukan ini semua kepada dirimu sendiri. Relakan Ayahmu, Losi. Biarkan dia tenang di sana.”

“Aku tidak gila, Hen. Ayahku benar-benar masih hidup. Dia ada di suatu tempat yang hanya aku yang bisa menolongnya. Kamu harus percaya padaku.”

“Aku ingin, Losi. Aku ingin percaya padamu. Tapi kemarin aku datang ke rumahmu.”

“Ka-kamu ke rumahku?” Aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Selama ini aku melarang siapa saja datang ke rumah. Bahkan Henri.

“Ya. Kamu sedang tidak ada. Pintu rumahmu tidak terkunci sehingga aku bisa masuk ke dalamnya. Kamu tahu apa yang kulihat? Itu bukan rumah Losi. Tidak layak tinggal. Ada begitu banyak bubuk kopi di mana-mana.”

“Ka-kamu seharusnya tidak boleh masuk,” kataku gelagapan. Dengan perasaan tak keruan aku segera berlari pergi.

***

“Bagaimana keadaannya, Dok?” Suara Henri berisi kekhawatiran. Tadi saat Kalosi berlari keluar mal, sebuah motor menabraknya.

“Dia hanya mengalami memar dan luka lecet saja. Selebihnya tidak apa-apa. Hanya saja kami menemukan kadar kafein yang sangat tinggi di dalam darahnya. Itu cukup berbahaya. Dia bisa menderita gangguan,” jelas sang dokter.

“Seperti halusinasi? Dia belakangan ini sering berkata hal-hal yang tidak masuk akal. Dia juga menganggap kalau Ayahnya masih hidup. Padahal Ayahnya sudah meninggal setahun yang lalu.”

“Itu bisa saja terjadi. Jika teman Anda sudah sadar akan segera dipindahkan untuk diperiksa lebih lanjut.”

“Terima kasih, Dok.”

“Sekarang mari kita lihat teman Anda.”

Seorang suster terduduk di lantai di depan sebuah tempat tidur pasien di UGD. Henri dan sang dokter berlari mendekati.

“Ada apa, Suster? Apa yang terjadi?”

“Pa… pa… pasien perempuan itu meng… meng… menghilang, Dok. Padahal aku hanya memungut sebuah biji kopi yang terjatuh di lantai. Tahu-tahu dia sudah menghilang,” kata sang suster gemetaran.

Di atas tempat tidur milik pasien bernama Kalosi hanya tersisa bubuk kopi dan sebutir biji kopi.

mycupofstory-poster-759x500

*) Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory diselenggarakan oleh GiordanoID dan Nulisbuku.com

The Shining Ones

Dalam enam minggu, ditemukan enam orang meninggal di Riverdise.

Korban pertama adalah seorang dokter perempuan, ditemukan tewas di bilik kamar mandi Rumah Sakit St. Eve. Wajahnya melepuh akibat cairan asam. Korban kedua adalah seorang anggota dewan, ditemukan dengan luka tembak di kepala pada saat resepsi pernikahan anak perempuannya di Gedung Zarachiel. Yang ketiga adalah seorang pedagang kembang di pasar. Ia ditemukan di dalam rumahnya sendiri di Raquel Street No. 21 yang luluh lantak oleh api. Seorang pengacara yang sedang menginap di Hotel Uriel dalam rangka bulan madu menjadi korban berikutnya. Istrinya yang menemukannya tewas di kamar mereka dengan lidah terpotong. Korban kelima ditemukan di taman kota. Wajah perempuan itu rusak dan di dadanya tergores luka materai. Belakangan diketahui, perempuan itu seorang PSK. Yang menjadi korban keenam adalah seorang remaja. Ia adalah anak laki-laki dari seorang pengusaha terkenal. Anak laki-laki itu ditemukan mati mengambang di Sungai Gabriel. Ia dicekik sebelum akhirnya dibuang ke sungai tersebut.

Riverdise adalah sebuah kota yang terkenal aman. Tingkat kejahatannya sangat kecil. Biasanya warga meninggal karena sakit, bukan karena dibunuh. Pihak kepolisian harus dipaksa bekerja semaksimal mungkin untuk mencari tahu penyebab kematian dan juga motif pembunuh. Namun mereka mengalami jalan buntu. Tidak ada jejak pelaku di setiap lokasi kejadian, bahkan tidak ada motif kuat siapa kira-kira yang mampu membunuh orang-orang ini. Apakah dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang? 

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kurang dari dua bulan, sudah enam warga kita yang meninggal.” Wajah Kepala Kepolisian Riverdise, Mr. Robertson, merah karena marah. Semua bawahannya hanya terdiam.

Mr. Robertson menarik napas panjang. Ia tahu ia tidak bisa menyalahkan anak buahnya. Mereka sudah bekerja keras. Namun nir hasil.

“Inspektur Boris.”

“Ya, Pak?”

“Cari laki-laki sok tahu itu dan mintalah dia untuk membantu penyelidikan kita. Paksa dia bagaimanapun caranya.”

“Baik, Pak.”

Di sebuah bar kecil di pinggir kota, seorang laki-laki dengan rambut berantakan duduk menikmati gelas wiski ketiganya. Tatapannya terpaku pada lampu neon yang membentuk nama bar. Dua buah lampu neon berkelap-kelip sebelum akhirnya padam. Mengubah nama bar menjadi Jim’s Butt. Pantat Jim. Padahal sebelumnya adalah Jim’s Butter.  

“Kau masih pemabuk yang doyan minum wiski murahan rupanya,” kata Inspektur Boris yang sudah duduk di meja bar di samping laki-laki itu.

“Dan kau masih polisi menyebalkan yang akan datang ke sini hanya karena butuh sesuatu. Iya, kan?” Laki-laki itu meneguk habis minumannya dan menyodorkan kembali gelasnya ke bartender.

“Berikan dia minuman yang sedikit mahal dari itu,” kata Inspektur Boris menyela. “Dan satu untukku juga.”

“Kau sungguh murah hati sekali. Katakan apa maumu?”

“Kepala Kepolisian ingin kau membantu penyelidikan kami, Beltsazar.”

“Pasti kasus yang cukup berat sampai si tua bangka itu menyuruhmu mencariku.” Beltsazar meraih gelas minumnya yang sudah kembali penuh.

“Memangnya kau tidak mendengar tentang beberapa pembunuhan yang terjadi belakangan ini?” tanya Inspektur Boris heran.

Beltsazar hanya diam menikmati minumannya.

Inspektur Boris menggelengkan kepala. “Seharusnya aku tahu, kau juga pasti sudah menyelidiki semua kasus ini sendiri. Tipikal.”

“Traktir aku segelas lagi dan anggap saja aku mau membantu kalian.”

Inspektur Boris mengangkat tangannya memesan kembali minuman yang sama kepada bartender untuk Beltsazar.

Beltsazar meminta Inspektur Boris menemaninya pergi ke beberapa tempat hari itu juga. Mobil mereka berhenti di TKP pertama lalu ke TKP keenam yang lokasinya berdekatan. Beltsazar tak banyak melakukan apa-apa, ia hanya berkeliling TKP dengan mata seawas elang botak. TKP lainnya didatangi keesokan harinya.  

“Kami menemukan beberapa petunjuk yang mungkin berkaitan. Ini tak pernah kami sebarkan ke media karena takut akan memengaruhi warga jika mereka tahu ada pembunuh berantai yang berkeliaran di kota ini.” Inspektur Boris mengeluarkan beberapa lembar foto dari sakunya. Ia memperlihatkan sebuah pola yang sama yang muncul di setiap TKP. “Bukankah itu terlihat seperti sebuah angka bagimu?”

Beltsazar mengamati sekilas foto-foto tersebut. Di dahi masing-masing korban ditemukan tulisan yang menyerupai 77’,7.

“Pihak kepolisian menyebutnya Pembunuh 777.”

“Kalau aku lebih memilih menyebutnya Peniru Malaikat yang Buruk.” Beltsazar menyalakan rokoknya yang tinggal sebatang yang baru saja diambilnya dari dalam saku.

“Peniru Malaikat?”

“Menurutmu, mengapa Lucifer memilih menjadi iblis?” Beltsazar berjalan meninggalkan TKP kelima.

“Apa hubungan Lucifer dengan kasus ini?” Inspektur Boris berusaha menyamai langkah Beltsazar.

“Jawab saja dulu.”

“Entahlah… karena dia ingin menjadi Tuhan mungkin?”

“Karena dia ingin diperhatikan. Sama seperti pelaku yang membunuh enam korbannya ini. Dia yang menyebut dirinya iblis. Tanda di dahi para korban itu bukan angka 7 melainkan bahasa Ibrani לילֵהֵ yang artinya Helel. Dia melakukan semua pembunuhan ini demi melengkapi semuanya menjadi satu bagian. Maksudku, tujuh.”

“Tujuh?”

“Akan ada tujuh pembunuhan. Tidakkah kau bisa menebak polanya?”

“Kalau aku sudah bisa menebak pola pelaku, aku tak akan bersusah payah meminta bantuanmu,” sungut Inspektur Boris.

“Baiklah,” kata Beltsazar sambil menarik napas panjang. “Pembunuhan pertama terjadi di Rumah Sakit St. Eve, yang kedua di Gedung Zarachiel, yang ketiga di jalan Raquel, keempat di Hotel Uriel, kelima di Taman Raphael, sedangkan korban keenam di Sungai Gabriel. Apa nama-nama lokasinya terdengar familier?”

“Ti-tidak.” Inspektur Boris menggeleng bingung.

“Itu semua adalah nama para malaikat. The Archangels.”

“The Archangels? Tapi Eve kan bukan malaikat.”

“Benar. Tapi malaikat yang digambarkan dekat dengan Eve adalah Samael. Samael diketahui sebagai suami dari Lilith, adik Eve. Samael dianggap satu dari tujuh malaikat utama walau pada akhirnya ia ikut membangkang bersama Lucifer.”

“Jadi pelaku terobsesi dengan malaikat?” tanya Inspektur Boris yang kini sudah membuka pintu mobilnya.

“Selain membunuh berdasarkan nama-nama malaikat, pelaku juga membunuh berdasarkan tujuh sakramen. Samael adalah sakramen urapan orang sakit, korban pertama adalah dokter yang dibunuh di rumah sakit dengan cairan asam. Zarachiel adalah sakramen perkawinan, korban kedua dibunuh saat berada di pesta pernikahan anaknya. Ia bahkan memegang buku doa karena Zarachiel dikenal sebagai pembawa doa. Korban ketiga ditemukan di Jalan Raquel. Korban ditemukan tewas terbakar karena Raquel adalah malaikat yang menghukum dengan api. Uriel adalah sakramen pengakuan dosa. Korban ditemukan tewas dengan lidah terpotong. Lalu korban kelima adalah seorang PSK yang ditemukan dengan wajah dan dada yang dimateraikan. Raphael adalah sakramen penabihsan. Korban keenam ditemukan tenggelam di sungai. Gabriel adalah sakramen baptisan.”

“Katamu akan ada tujuh korban.”

“Ya. Dan mungkin akan terjadi hari ini juga.”

“Hari ini?”

“Bukankah semua korban selisih jaraknya adalah enam hari. Hari ini adalah hari ketujuh sejak korban terakhir ditemukan.”

“Kau benar. Ini adalah harinya.” Inspektur Boris menepuk dahinya. “Sudah ada enam malaikat, tersisa satu malaikat lagi. Malaikat utama dari The Archangels adalah Michael, bukan?” Beltsazar mengiyakan.

“Jika pelaku membunuh sesuai lokasi yang memakai nama malaikat, maka yang terakhir ini akan ada di Gereja St. Michael. Benar kan? Aku harus segera melaporkan ini kepada Mr. Robertson.” Inspektur Boris segera melarikan mobilnya di jalanan.

“Ngomong-ngomong, sakramen apa yang akan dia gunakan?” tanya Inspektur Boris lagi.

“Perjamuan Ekaristi,” jawab Beltsazar dengan wajah lempengnya. Namun jika diperhatikan dengan saksama matanya berisi ketakutan.   

“Perjamuan? Jangan-jangan…”

“Bom!” kata Beltsazar menjawab dugaan Inspektur Boris.

Tim penjinak bom dan pihak kepolisian Riverdise tiba di Gereja St. Michael saat sedang ada ibadah umum. Orang-orang yang ada di dalam dan sekitarnya diminta menjauhi area gereja sesuai dengan parameter yang sudah ditentukan. Sebuah bom aktif ditemukan di bawah mimbar. Tim penjinak bom berhasil mengamankannya. Kepolisian Riverdise mendapat pujian atas keberhasilan mencegah terjadinya pembunuhan massal. Nama Beltsazar tak disebut karena laki-laki itu melarang Inspektur Boris mengatakan apa-apa.

Pukul empat dini hari, Beltsazar terbangun dengan mendapati telepon genggamnya menerima email dari pengirim yang tak dikenal. Ia tercenung membaca isi email.

Di sebuah bukit yang jaraknya lima kilometer dari pusat kota. Saat itu matahari baru saja terbit. Beltsazar tiba di puncaknya dengan napas terengah.   

“Halo, Beltsazar,” sapa seorang laki-laki yang berdiri di dekat sebuah patung malaikat tanpa sayap. Ia mengenakan topeng hitam yang hanya memperlihatkan area mata yang sekelam malam.

“Kau yang mengirimiku email. Siapa kau?”

“Kupikir kau tak perlu bertanya, karena aku yakin kau pasti sudah bisa menebak siapa aku.” Suara laki-laki bertopeng itu serak dan mencekam.

“Kau yang membunuh orang-orang tak berdosa itu. Yang mengatasnamakan para malaikat demi memenuhi obsesi sakit jiwamu.”

“Ow… Beltsazar… Beltsazar. Aku sungguh tersinggung kau mengataiku sakit jiwa. Aku ini adalah seorang maestro. Aku adalah pencipta teror yang akan dikenal dunia karena ketakutan yang kudatangkan atas manusia. Hanya orang jenius yang mampu melakukan itu semua bukan orang sakit jiwa.”

“Berhentilah terobsesi menjadi Lucifer. Kau bukan siapa-siapa yang hanya akan membusuk di penjara demi dosa-dosamu itu.”

“Ha ha ha. Aku tak pernah terobsesi. Karena aku adalah Helel sang pembawa teror. Dan kau tahu, tindakanmu menyelamatkan orang-orang itu adalah tindakan bodoh. Karena kesalahanmu itu, aku akan memberi teror yang lebih besar lagi untuk kota ini.”

“Aku adalah orang yang akan menghentikan segala kegilaanmu itu.”

“Kau tak akan pernah bisa menghentikanku. Sama seperti yang sudah aku lakukan sebelumnya. Ucapkan selamat tinggal, Beltsazar. Kita akan berjumpa lagi. Secepatnya.” Laki-laki bertopeng itu tiba-tiba melompat dari atas bukit. Beltsazar baru akan mengejarnya ketika sebuah ledakan menghancurkan patung malaikat tanpa sayap menjadi serpihan debu.

Beltsazar bangun dengan tertatih. Daya ledak bom di patung membuatnya terhempas cukup jauh. Laki-laki bertopeng itu sudah tak kelihatan lagi. Tapi Beltsazar yakin, mereka akan bertemu kembali. Dan saat itu terjadi, Beltsazar sendiri yang akan menangkap laki-laki yang menyebut dirinya Helel. The Shining Ones. 

Senandung Catleya

Perempuan itu sedang memandang ke luar jendela saat aku masuk ke dalam ruangannya. Rambut hitam arangnya terkepang menyamping, memperlihatkan rahangnya yang tinggi. Ia terlihat berbeda dari hari kemarin–dengan rambut kusut masai.  Suster Maryam pasti yang mendandani usai memandikannya tadi pagi.

“Halo Catleya. Apa kabarmu hari ini?” sapaku.

Perempuan itu tak mengalihkan pandangnya. Tetap setia menatap jendela dalam diam. Entah apa yang dilihatnya. Hanya ada pohon ketapang dengan sebagian daun yang kekuningan di luar sana.

“Namaku Allan. Aku dokter yang akan menanganimu selama kau dirawat di sini,” kataku sambil memindahkan sebuah kursi lipat tepat di hadapannya. Namun ia tetap tak mengubah sudut matanya.

Perempuan ini sangat cantik. Matanya sewarna madu. Kulitnya serupa tembaga yang ditempa matahari. Kencang dan sehat. Pantas saja secara fisik ia tampak begitu bugar. Kasak kusuk yang beredar, perempuan ini adalah seorang atlit lari. Ia beberapa kali mendapat medali emas di lomba lari nasional dan internasional.

Keberadaannya di sini akibat kasus pembunuhan. Laki-laki yang diketahui sebagai pacarnya ditemukan tewas mengenaskan di rumah kontrakannya. Perempuan ini juga ada di sana dengan tubuh berlumur darah. Katanya saat polisi masuk ke kediaman itu, perempuan ini sedang bersenandung sebuah lagu yang dinyanyikan secara berulang-ulang. Semula ia dianggap saksi atas kejadian keji itu. Tapi bukti berbalik mengarahkannya menjadi tersangka. Sayangnya setelah kejadian itu, psikiater mendiagnosisnya mengalami gangguan kejiwaan. Hakim memutuskan ia dikirim ke rumah sakit ini.

“Hari ini kita tidak akan melakukan terapi. Aku hanya akan bercerita tentang diriku padamu. Katanya tak kenal maka tak sayang, bukan?” kataku sambil tertawa. Perempuan itu tetap geming.

Aku mulai bercerita tentang kebiasaan-kebiasaanku. Tentang kegiatan yang kulakukan selama di rumah sakit. Sampai pada hobi membaca dan kegemaranku mengoleksi action figure. Tahu-tahu sesi dua jam dengannya telah usai.

“Aku pamit dulu. Sampai jumpa besok, Catleya.”

Baru saja aku beranjak, terdengar suara dari mulutnya. Ia sedang mengguman. Tidak. Ia sedang bersenandung. Sebuah lagu. Entah lagu apa. Yang lebih mengejutkan, ia kini menatapku sambil tersenyum. Aku baru akan mendekatinya lagi ketika ia sudah membalikkan tubuhnya seperti semula. Kembali menatap jendela. Senandung di mulutnya ikut berhenti. Ia kembali larut dalam hening.

***

Sudah tiga bulan aku menangani perempuan itu namun tidak ada perkembangan berarti. Ia tak pernah bereaksi setiap kali aku datang ke ruangannya. Ia tetap setiap menatap keluar jendela. Tanpa berbicara. Pun menatapku. Aku tak tahu apa yang harus kutulis dalam jurnalku.

Apakah hanya sebuah kebetulan hari itu, saat ia menatap dan tersenyum padaku?

***

Memasuki bulan kelima aku sedikit frustrasi. Baru kali ini aku menghadapi pasien yang diam seribu bahasa tanpa adanya reaksi. Sempat tersirat untuk berhenti menanganinya. Tapi pikiranku berubah saat melihatnya di taman. Duduk seorang diri di bangku besi bercat putih. Ia sedang memperhatikan teman-temannya yang sedang berkegiatan di taman. Dua kali dalam seminggu, para pasien memang dibiarkan berinteraksi di luar ruangan. Khusus pasien yang dinilai takkan berbuat macam-macam saja.

“Halo dokter,” sapanya saat aku tinggal beberapa langkah lagi darinya. Tentu saja itu membuatku terkejut. Benar-benar terkejut.

“Halo Catleya,” balasku. “Boleh aku duduk di sampingmu?”

“Tentu saja.” Tangannya menepuk-nepuk bangku seolah membersihkan debu tak kasat mata.

“Kau suka berada di luar?”

Perempuan itu mengangguk.

Lalu entah bagaimana kami mulai bercerita. Tidak, ia yang lebih banyak bercerita. Bercerita tentang lomba-lomba yang pernah ia ikuti. Tentang kota-kota dan negara yang pernah ia kunjungi. Tentang banyak hal. Ia terlihat begitu hidup dan bahagia. Ia bahkan mulai bersenandung. Senandung yang sama dengan yang kudengar waktu itu.

🎶Dan bernyanyilah

Senandungkan isi suara hati

Bila kau terluka

Dengarkan alunan lagu

Yang mampu menyembuhkan lara hati

Warnai hidupmu kembali

Menarilah…

Bernyanyilah…🎶

“Itu lagu milik siapa?”

“Sebuah band. Mereka teman-teman pacarku,” katanya sambil tersenyum. “Lagu ini khusus untukku. Ditulis sendiri oleh pacarku.”

Mendengar ia berbicara tentang masa lalunya, aku mencoba mengorek lebih. Jarang sekali aku mendapat kesempatan seperti ini dengannya. Tapi mendadak ia terdiam ketika aku menyebutkan nama pacarnya. Ia kembali menutup diri. Sikapnya berubah seperti sedia kala. Menjadi asing bagi sekitarnya. Bagiku.

***

“Halo Catleya, lihat apa yang kubawakan untukmu.” Aku memperlihatkan sebuah iPod saat datang ke ruangannya keesokan hari. Ia adalah Catleya yang sama seperti semula. Memandangi jendela dalam diam. Aku menekan tombol play. Lantunan lagu yang kemarin ia nyanyikan berdengung. Aku sengaja mencarinya di internet sepulang kerja. Itu adalah lagu dari band bernama Musikimia.

Catleya tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Wajahnya berubah seputih kertas.

“Tidak… tidak…” Ia menutup kedua telinganya. Tubuhnya mulai berguncang-guncang. “Semua salahnya. Salahnya. Salahnya. Katanya lagu itu untukku. Katanya lagu itu untukku. Bukan perempuan itu…” teriaknya padaku.

“Dan bernyanyilah… dan bernyanyilah… dan bernyanyilah…” ia terus mengulangi kata-kata itu sambil terus mengguncang tubuhnya lebih keras lagi. Aku terpaksa mematikan musik di iPod. Kupikir ia akan terbuka ketika mendengar lagu yang ia nyanyikan kemarin. Nyatanya aku salah. Ia malah menjadi lebih trauma. Aku bersiap memberikan suntikan penenang ketika ia melompat menerjangku. Tubuhnya tepat di atasku. Ia berteriak histeris.

“Semua salahnya. Salahnya. Salahnya.” Tangannya sudah menjambak rambutku lalu membenturkan kepalaku ke lantai dengan keras.

Kemudian semua menjadi gelap.

***

Silau. Aku mengerjap beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya lampu yang benderang di kamar ini. Seorang perempuan sedang duduk di kursi lipat tak jauh dariku. Ia mengenakan jas putih. Sibuk membolak-balikkan sebuah buku yang kukenali sebagai jurnal milikku. Kepalaku masih teramat berat. Catleya pasti membenturkan kepalaku dengan sangat keras. Tubuhku terasa mati rasa. Aku langsung menyadari kalau aku sedang mengenakan strait jacket.

“Kenapa aku mengenakan jaket pengekang ini? Kenapa aku ada di ruangan isolasi?” tanyaku kesal.

“Halo Allan, kau sudah sadar?”

“Lepaskan aku!” teriakku marah. “Lepaskan aku!!!”

“Kami harus memakaikan itu kepadamu karena sikapmu kemarin terlalu agresif dan membahayakan orang lain,” jelas perempuan yang kukenali sebagai rekan sejawatku, Suster Maryam. Hanya saja ia tak mengenakan seragam suster melainkan dokter.

“Aku tidak melakukan apa-apa. Justru aku adalah korban. Kalian seharusnya mengurung Catleya. Ia yang menyerangku.” Aku mencoba membebaskan diri dari jaket pengekang yang membebat tubuhku.

“Mana Catleya. Mana perempuan itu?”

“Allan, tenanglah. Atau aku akan memberikanmu penenang.”

“Lepaskan aku. Lepaskan. Kalian tidak berhak memperlakukanku seperti ini.” Aku terus berusaha melepaskan diri sambil mengguncang-guncang tubuhku.

“Semua salah Catleya. Salah perempuan itu,” lolongku. Kulihat dua orang laki-laki berpakaian putih sudah masuk ke dalam ruangan. Suster Maryam meminta mereka menahan tubuhku. Lalu ia menyuntikan jarum ke leherku.

Duniaku terasa berputar dengan suara-suara yang ikut menjadi mengabur.

“Bagaimana keadaannya, dok?”

“Dia semakin parah. Kepribadiannya semakin bertambah. Kemarin ia menjadi seorang doker dan seorang perempuan bernama Catleya sekaligus.”

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Storial.co dan Nulisbuku.com

Kau yang Tak Pernah Berhenti Mengasihiku

Di pertengahan Januari, lindap jatuh di atap-atap. Kau sedang duduk sambil menyesap kopi hitam di teras rumah. Itu selalu menjadi kebiasaanmu sejak pensiun. Aku mendekatimu sambil mengabari kalau aku mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan konstruksi besok hari. Katamu, kau sendiri yang akan mengantarku dengan motor bebek kesayanganmu. Motor bebek yang selalu setia mengantarku ke mana-mana sejak di bangku sekolah. Motor bebek yang selalu kau pakai untuk membeli gado-gado jika aku sedang ingin makan makanan itu. Motor bebek yang sering kau gunakan untuk mengantarku bermain ke rumah sahabatku. Aku langsung memelukmu dan mengucapkan terima kasih.

Sesuai janji, kau mengantarku mendatangi perusahaan itu. Kau bahkan menungguku sampai selesai di depan pos satpam. Kau lalu bertanya bagaimana hasilnya? Aku tak bisa menyimpan kejutan itu dan langsung mengatakan, aku diterima kerja. Kau sangat senang. Aku bisa melihat itu dari binar matamu.

Di hari pertama kerja, kau kembali mengantarku. Katamu, biar aku tidak terlambat kerja di hari pertama bekerja. Kau bahkan menawarkan untuk menjemputku karena jarak tempat kerja ke rumah memang lumayan jauh, tapi aku menolak. Kataku, aku naik angkot saja. Aku tidak ingin membuatmu lelah.

Beberapa minggu bekerja, aku mengeluhkan tentang kondisi makanan di kantin yang tidak sesuai seleraku. Dasar ya, aku memang anak perempuanmu yang sangat manja. Kau lalu berkata, akan membuatkan bekal untukku setiap hari. Aku tertawa. Kataku, sudahlah, jangan merepotkan diri. Tapi kau bersikeras. Aku adalah anakmu, bagaimana mungkin kau biarkan tanpa makan makanan yang baik? Jadilah kau membekaliku dengan makan siang yang menggugah selera setiap hari. Kesukaanku adalah sambal roa buatanmu yang sungguh nikmat.

Kau terus memanjakanku sampai aku sudah menikah dan memiliki anak. Aku selalu berpikir, kapan aku bisa membalas semua perlakuanmu kepadaku? Kau sudah menjadi papa yang sangat baik, sangat perhatian, dan tak pernah berhenti mengasihiku walau aku kerap membuat hatimu terluka.

Terima kasih papa. Terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan padaku. Terima kasih.

 

 

Hari Di Mana Mama Pergi

Semalam papa dan mama bertengkar. Dan aku menyaksikan semua.

Mama sudah menjejalkan semua pakaiannya ke dalam sebuah koper. Papa berusaha menahannya tapi tangan mama terayun menampar wajah papa. Papa lalu mendorong mama ke tempat tidur. Mama membalas memukul dan menendang-nendang. Beberapa kali aku melihat papa terkena tendangan mama tapi laki-laki itu tak membalas. Dia menindih mama agar mama tak bergerak. Katanya, tolong tenanglah. Tetap saja mama berontak. Aku menangis. Papa menyuruhku masuk ke dalam kamar. Tapi aku tak bisa. Tubuhku seperti membatu.

Mama berhasil bebas dari papa. Dia bangkit dan membuka laci lemari. Emosinya semakin meluap-luap. Dikeluarkannya dua lembar kertas dari sebuah file penyimpanan lalu disobek-sobek sampai menjadi serpihan kecil. Papa membeku di tempatnya. Matanya nanar melihat kertas yang sudah hancur. Sepertinya surat penting. Aku melihat ada foto mereka berdua yang ikut sobek dengan kertas itu. Kata mama, dengan begini mereka sudah tak ada ikatan lagi. Pernikahan mereka usai.

Mama kemudian berjalan melewati papa sambil menggeret kopernya. Melewatiku yang terdiam di dekat pintu kamar mereka berdua. Mama seolah tak memedulikan aku. Melirik pun tidak. Papa berbalik mengejar. Dia mencoba menahan mama, tapi mama bersikeras sudah tak ingin tinggal. Katanya dia muak satu rumah dengan papa. Papa memohon-mohon. Tangan mama malah meraih vas bunga dan melemparnya ke dinding. Papa berhenti memohon. Aku meringkuk di dekat pintu dengan tubuh bergetar.

Sebelum pergi mama kembali menyalahkan papa. Katanya dia sudah bosan hidup dengan laki-laki yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dia sudah bosan bertahan dengan segala kekurangan. Katanya hari demi hari dia selalu bersabar. Dan tidak ada hasil. Mau sampai kapan, teriaknya. Mama juga menyebut soal ulang tahunku. Katanya, kepala rumah tangga macam apa yang tak tak bisa menyediakan uang untuk merayakan ulang tahun anaknya. Padahal aku sudah terbiasa dengan tak adanya perayaan, seperti tahun-tahun sebelumnya. Kemudian mama menyebut soal hutang. Hutang yang banyak yang belum bisa papa lunasi. Banyak lagi. Dan banyak lagi. Aku menutup telinga dan mataku berharap ini hanya mimpi buruk.

Sayangnya ini bukan mimpi. Aku dan papa hanya bisa menatap langkah mama meninggalkan rumah dan hilang ditelan gelap malam. Besok para tetangga pasti akan bertanya. Ada apa semalam?

Bukan kali ini papa dan mama bertengkar. Sudah beberapa kali sejak aku masih kecil. Tidak setiap waktu memang, tapi pasti seperti ini. Penuh teriakan dan makian. Selalu mama yang akan mengamuk dan papa yang berusaha menenangkan.

Kami sudah tiga kali pindah rumah kontrakan, dan selalu saja ada dalam suatu masa terjadi pertengkaran. Setiap kali bertengkar mama selalu mengancam akan meninggalkan papa, tapi tak pernah benar-benar pergi. Papa selalu memohon-mohon agar mama memikirkan aku. Memohon agar mama mau bertahan. Lalu esok harinya semua akan kembali normal. Seolah luapan amarah semalam padam begitu saja. Mama dan papa akan menjalani hari-hari lagi seperti sedia kala.

Aku tak mengerti dengan orang dewasa. Mereka aneh. Di hari biasa, mereka tampak saling sayang. Saling akur. Aku sering melihat papa mencium mama. Atau keduanya saling berpelukan mesra. Lalu di hari-hari tertentu—seperti semalam—mereka akan saling berteriak. Meraung-raung seperti seekor singa kelaparan. Pemicunya hanya karena uang. Ya, aku bisa mengerti walau umurku masih teramat muda. Apa yang mama keluhkan setiap kali bertengkar pasti menyangkut uang. Soal kebutuhan hidup, itu pasti tentang uang. Beli air dan makan itu untuk hidup, kan? Soal ulang tahun, itu karena  butuh uang. Soal hutang, itu juga pasti butuh uang. Walau aku tak mengerti hutang itu apa. Inti dari semuanya adalah uang.

Apa semua orang dewasa seperti itu? Apakah mereka bersatu hanya karena terpaksa? Hanya karena pura-pura? Apa uanglah yang mampu menyatukan mereka?

Saat bangun tadi mama tak ada. Mama tak kembali. Permohonan papa sudah tak mempan lagi. Padahal kemarin terlihat seperti hari yang normal. Mama masih melakukan kegiatannya seperti biasa. Bangun pukul lima pagi untuk menyiapkan segala keperluanku dan papa sebelum berangkat sekolah dan kerja. Mama juga masih menyambutku sepulang sekolah. Dia menemaniku makan siang, kemudian menyuruhku tidur. Benar-benar seperti hari-hari biasa.

Sore harinya mama juga masih tetap mama yang sama. Membersihkan rumah kemudian menyiapkan makan malam. Keadaan berubah ketika papa pulang. Papa memberikannya sebuah kertas. Entah isinya apa. Sikap mama mendadak berubah total setelah melihat isi kertas itu. Lalu pertengkaran itu terjadi. Lebih hebat dari pertengkaran yang sudah-sudah.

Papa tak pergi kerja hari ini. Saat aku melongok ke dalam kamar, dia masih berbaring di tempat tidur. Aku juga tak pergi ke sekolah. Padahal seragam merah putihku sudah disediakan mama kemarin. Mobil jemputan yang datang terpaksa berlalu begitu saja karena aku ataupun papa tak keluar rumah.

Menjelang siang papa baru keluar dari kamar. Matanya sembap. Garis hitam begitu tebal di bawah matanya. Aku tak pernah melihat papa yang seperti ini. Penuh dengan kesedihan.

“Sudah makan?” tanyanya padaku yang duduk di depan televisi. Aku menggeleng. Tadi aku hanya mengganjal perut dengan sisa keripik kentang di kulkas.

“Papa gorengin telur, ya?” aku mengangguk.

Aku dan papa makan dalam diam di meja makan. Papa tak mengungkit soal kenapa aku tak ke sekolah. Pun sebaliknya.

“Mama sudah benar-benar pergi ya, Pa?” tanyaku dengan nada ragu. Papa tetap diam. Sebuah senyum mengembang dari wajahnya. Senyum yang dipaksakan.

“Mama pergi karena Papa gak punya uang, ya?” tanyaku lagi. Senyum di wajah papa mendadak sirna.

“Maafkan Papa dan Mama kalo sudah bikin kamu susah ya, Nak.”

“Jadi Mama benar-benar pergi karena uang ya, Pa. Mama mau uang berapa? Aku punya.” Aku langsung bangkit dan berlari masuk ke dalam kamar. Di atas lemari, aku meraih celengan ayam berwarna hijau. Celengan yang dulu dibelikan papa dan mama di ulang tahunku yang pertama.

“Aku punya uang, Pa,” kataku menyodorkan celengan hijau itu. Celengan itu penuh. Isinya uang sisa jajan dan recehan yang kusimpan untuk membeli sepeda nanti.

“Kita cari Mama trus kasih uang ini biar Mama pulang, Pa,” rengekku. “Kita kasih semua yang di dalamnya. Biar Mama mau ngumpul lagi sama kita. Aku rela kok, Pa. Rela. Nanti kalo Papa udah uang lagi baru Papa ganti isi celengan aku. Asalkan Mama pulang, Pa.”

Mata papa berkaca. Satu persatu bulir air jatuh dari kelopaknya.

“Kamu simpan aja celengan kamu, ya.” Papa menyodorkan kembali celengan ke arahku.

“Kenapa? Memangnya Mama mau uang berapa?”

“Mama butuh waktu, Nak. Nanti kalo semua sudah reda, Papa akan membujuk Mama pulang.”

“Tapi kapan Mama pulang, Pa?” tanyaku yang tak mengerti.

“Nanti Sayang, nanti.” Papa menarikku ke dalam peluknya. Tangisnya pecah. Pun aku.

Aku tak mengerti kenapa mama harus pergi. Kenapa tak tinggal seperti hari-hari biasanya. Jika mama menginginkan uang. Aku punya uang. Walau memang tak seberapa.

“Papa ke kamar dulu,” kata papa melepas pelukannya. “Kamu kalo mau nonton, nonton aja. Jangan dulu ke mana-mana. Semoga besok Mama pulang, ya.”

Aku tak melihat papa sampai besok pagi. Dan mama juga tak kembali seperti kata papa.

Tak pernah kembali lagi.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com