Senja Hari Itu

Seperti biasa dia ada di situ. Di teras toko buku yang sudah tutup jelang maghrib. Duduk memandang langit senja yang mulai memudar. Semacam itu adalah ritualnya.

Aku, entah sejak kapan mulai memperhatikan hal itu. Memperhatikan dia. Anak laki-laki yang usianya dua tahun di atasku. Anak baru yang baru pindah sebulan yang lalu ke kompleks perumahaan ini.

Kapan ya? Sejak seminggu yang lalu mungkin. Saat kami pertama kali berkenalan. Aku baru saja keluar dari dalam toko buku. Menenteng beberapa buku bacaan. Dia ada di teras. Duduk diam di situ sambil bersenandung kecil.

“Seira kan?”

Hampir saja aku terjatuh karena sapaannya. Mendadak kakiku canggung menginjak lantai.

“I-iya.”

Bagaimana dia bisa tahu namaku?

“Aku nanya Ambi kemarin. Katanya nama kamu Seira.” Dia seakan menerjemahkan apa yang kupikirkan. Lalu seenaknya tersenyum. Senyumnya serupa palu, aku terpaku.

“Duduk sini dulu dong kita ngobrol-ngobrol,” ajaknya tanpa basa basi.

“A-anu, nanti aku dimarahi. Tadi janji sama mama jam 6 kelar baca buku harus pulang.”

“Baiklah. Besok aja kalau begitu. Bilang sama mama mau main sampai agak malam.”

Dan dia tersenyum lagi usai mengatakan itu. Senyum itu membuatku ingin bertahan lebih lama tak peduli nanti dimarahi mama. Kakiku yang membawaku menjauh walau pikiranku sempat menolak untuk beberapa saat.

Besok. Ya, besok. Aku akan memohon pada mama agar bisa pulang sejam lebih lama dari biasanya.

Aku sudah di teras toko buku sejak tadi. Senja sudah luruh. Langit sudah berubah gelap sejak beberapa menit yang lalu. Dia tidak ada di situ. Ada rasa tidak menyenangkan merayapi bagian dadaku.

“Seira.” Dia tiba-tiba saja muncul dari samping toko. Memamerkan senyum tanpa dosanya. “Tadi aku ada urusan sedikit di rumah. Jadi telat deh ke sini. Maaf ya membuat kamu menunggu.” Dia menjelaskan tanpa diminta. Lalu menghempaskan dirinya ke tangga teras.

“Tangan kamu?” Aku menunjuk tangan kanannya yang diperban.

“Ah ini. Tadi kena pisau pas mau ngupas mangga. Nggak papa,” jelasnya santai.

“Wah, aku jadi telat juga melihat senja menghilang. Padahal di sini spot paling bagus melihat matahari terbenam melewati pohon besar itu,” tunjuknya ke arah pohon mangga tertinggi dan terbesar di kota ini. Tingginya setara gedung berlantai 5. Pohon mangga itu sudah tumbuh di situ jauh sebelum aku lahir. Berdiri di tanah lapang yang sering dipenuhi anak-anak kecil bermain kejar-kejaran di sore hari.

Hari ini dia memakai jumper warna merah bata. Menyembunyikan kepalanya di balik tudungnya. Dia terdiam memandangi pohon mangga itu. Sepintas aku menangkap kesedihan di rautnya.

“Sejak kecil aku ingin menjadi seorang pilot,” katanya. “Menerbangkan pesawat melewati kota ke kota, melewati samudera ke samudera, melewati negara ke negara.” Matanya bercahaya. Mimpi-mimpi menguar dari sana serupa kerlip bintang. Kemudian cahaya itu meredup saat dia menundukkan kepalanya.

“Seira ingin menjadi apa nanti?” Dia menoleh dengan senyum khasnya.

“A-aku belum tahu mau jadi apa,” jawabku canggung.

“Seira nggak punya mimpi?”

“Mimpi?” Aku memainkan rambut ke belakang telinga sambil berpikir. Apa setiap orang diwajibkan harus mempunyai mimpi? Definisi mimpi saja bagiku baru sebatas bunga tidur. “Entahlah. Apa itu mimpi?”

“Hmm…” Dia menaruh jari telunjuk dan jempolnya di dagu seakan sedang merenung dan mencari jawaban. “Apa ya? Petunjuk arah mungkin,” jawabnya asal-asalan.

“Jadi orang yang tidak punya mimpi artinya sedang tersesat?” tanyaku.

“Ha ha ha. Iya ya. Tapi maksud aku sih, petunjuk arah agar kamu bisa meraihnya. Semacam jalur yang mengarahkan kamu agar fokus pada arah yang ingin kamu capai.”

“Dengan kata lain, mimpi hanyalah sebuah keinginan?”

“Keinginan yang harus diwujudkan.”

“Tapi dalam teori ekonomi, utamakan kebutuhan bukan keinginan? Keinginan kan hal sekunder dalam hidup.”

Dia terdiam sebentar. “Keinginan bisa menjadi kebutuhan saat kita yakin itu adalah tujuan kita. Saat kita yakin itu yang akan membuat kita ‘hidup’ dan berkembang.”

“Masuk akal,” tukasku. “Tapi aku belum tahu apa yang membuatku ‘hidup’ itu. Buatmu apa?”

“Senja. Aku ingin melihat senja yang berbeda di tiap kota yang dan tempat yang berbeda.”

“Sesederhana itu?”

“Yup.”

“Waduh, aku mesti pulang. Tadi janji ke mama pulang jam 7 ini udah lewat 10 menit.”

“Sampai ketemu besok?” tanyanya.

“Sampai ketemu besok.”

Dia sudah duduk di teras depan toko di hari berikutnya. Bahkan di hari-hari selanjutnya. Menunggu aku keluar dari toko buku itu. Kami ngobrol hal-hal sederhana selain mimpi. Kami juga tertawa untuk hal-hal yang sederhana. Lalu kami akan berpisah dengan ucapan yang rutin.

“Sampai ketemu besok?”

“Sampai ketemu besok.”

Tapi tak ada dia di hari esok. Aku tak mendapati dia duduk di teras toko. Hari berikutnya juga. Kupikir karena dia ada urusan atau tidak bisa keluar untuk sementara. Senja sudah berlalu sebanyak tujuh hari dan dia tetap tak menampakkan diri ke toko buku. Rumahnya hanya beberapa blok dari toko buku. Kupikir aku akan mendatangi rumahnya untuk tahu kabarnya.

Sore itu banyak sekali kerumunan di depan rumahnya. Ada garis polisi di depan pagar. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan rambut kriwil menuntun seorang laki-laki paruh baya keluar dari rumah tersebut dengan amarah. Wajah-wajah di belakangnya menunjukkan hal serupa. Samar-samar terdengar bisik-bisik di antara kerumunan.

“Tega sekali dia membunuh anaknya.”

“Iya katanya udah dibunuh selama beberapa hari yang lalu dan disimpan di dalam tembok. Ngeri kali.”

“Orang tua macam apa sesadis itu.”

“Katanya hanya karena anaknya ingin keluar sore itu dan dia sedang kesal.”

Aku hanya bisa membeku. Senja hari itu bukan jingga yang meneduhkan melainkan merah pekat penuh amarah.

Tinggalkan komentar