YANG (PERNAH) ADA DI ANTARA KITA

“Salam ya buat pemain biola yang berdiri paling kanan.”
“Salam balik, katanya.”

Salam itu akhirnya terbalas juga. Setelah bertahun-tahun lamanya.

“Aku udah di depan nih. Tempat latihannya di sebelah mana, sih?”
“Tinggal masuk aja nanti belok kiri. Rumahnya pagar merah.” Kata seseorang di seberang telepon.
“Tapi kamu tunggu aja di situ deh. Biar aku yang jemput.”

Aku berdiri di depan sebuah gang sempit di samping gereja tua. Lorong dalam gang sedikit gelap karena tak ada penerangan. Di ujung baru terlihat ada cahaya tapi aku memilih menunggu saja sesuai perintahnya, sambil duduk di anakan tangga gereja yang berdebu.

“Hai.”
“Hai.” Aku segera berdiri menyambut kedatangan lelaki jangkung berkemeja biru yang muncul dari balik gang. Dia mengulurkan tangannya ditemani senyuman di wajah.
“Senang ketemu kamu, lagi.” Sengatan listrik statis mengaliri tubuhku ketika tangan kami bertaut. Buru-buru aku melepas gengaman tangannya yang besar dan hangat. Untung saja aku memakai kacamata hitam sehingga dia tidak bisa menangkap rasa malu melalui mataku.

“Duluan aja,” katanya mempersilakan aku berjalan di depannya. Tak ada pembicaraan sepanjang melewati gang. Aku tak tahu harus berkata apa. Pun dia. Tak seberapa lama kami berbelok dan berhenti di depan rumah berpagar merah yang terbuka lebar. Suara gitar dan biola terdengar jelas dari luar.

“Hai semua, ini Nadia. Dia akan mengambil bagian dalam konser kita nanti.” Lelaki jangkung itu langsung memperkenalkanku pada beberapa orang yang berkumpul di ruang tamu yang sudah disulap menjadi tempat latihan musik. Sebagian adalah remaja dan anak-anak.

“Hai. Halo,” kataku sambil tersenyum kepada mereka semua.
“Nadia bakal nyanyi di bagian akhir. Sekarang kita latihan buat lagu pilihannya, ya.” Lelaki itu meminta murid-muridnya untuk bersiap latihan. Para remaja dan anak-anak langsung memegang alat musik mereka masing-masing.

“Tuh kan, suaranya bagus. Anak-anak aja pada muji.” Aku dan lelaki jangkung sudah berjalan kembali ke arah mobil yang kuparkir di depan gereja.
“Tapi masih nervous. Aku takut aja nanti ngerusak konser kamu.”
“Apa yang ditakutkan sih?”
“Aku demam panggung,” kataku sambil manyun.
“Kamu kan udah biasa tampil di depan tv. Masa masih demam panggung? Nyanyi aja kayak latihan tadi. No pressure.” Lelaki jangkung coba memberikan semangat.
“Semoga aja.” Aku mencoba tertawa. Dia membalas dengan senyuman.

“Habis ini mau ke mana?” Langkah kami berhenti di depan mobil sedan berwarna merah.
“Ada janjian sama teman. Biasalah, reunian kecil-kecilan.” Aku mencoba merapikan rambut ke samping sambil menghindari kontak mata dengannya. Sejak bertemu tadi aku tak sanggup menatapnya berlama-lama. Selama ini segala hubungan antara aku dengannya hanya dilakukan lewat Whatsapp dan BBM. Atau sesekali berbincang di telepon.
Kini saat bertemu langsung, aku tak berani berbicara lepas seperti saat kami sedang chatting.
Ada hening cukup lama antara aku dan dia. Sekitar kami seakan ikut senyap. Aneh sih, aku dan dia seharusnya tidak bersikap seperti ini. Beberapa tahun lalu kami sudah saling kenal. Seharusnya pertemuan antara dua teman lama bukan canggung dan kaku seperti ini.

“Aku pergi dulu,” kataku memecah diam. “Sampai jumpa hari Sabtu?”
“Sampai jumpa hari Sabtu.” Kembali dia tersenyum, membuat desir di dadaku semakin intens.
“Hati-hati nyetirnya, ya. Kabari aku kalo udah sampe di rumah nanti.” Dia membantu menutup pintu mobilku. Tangannya melambai mengiringi laju mobilku yang meninggalkan gereja tua.
Dulu, saat aku dan dia bertemu di gereja itu aku harus menutup rapat perasaanku kepadanya.

Ponselku bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk di Whatsapp.
“Udah sampai rumah?”
“Lima belas menit yang lalu.” Balasku.
“Ya udah, istirahat aja. Ini udah jam 11 malam. Nite.”
“Nite.”

Aku menghela napas panjang. Kembali kulirik isi percakapan di Whatsapp. Bahkan hanya membaca kata-kata darinya mampu membuat dadaku bergejolak tak keruan.
Sudah setahun ini, aku dan si lelaki jangkung saling berhubungan. Tidak, ini bukan hubungan spesial antara laki-laki dan perempuan seperti pada umumnya. Ini hanya hubungan dua orang teman lama saja. Tidak lebih.
Setidaknya itu yang kuyakini.

Semua bermula dari ucapan selamat di Whatsapp yang kukirimkan  padanya atas konser yang diadakannya setahun lalu.

“Troy, selamat ya atas konsernya. Semoga tahun-tahun ke depan semakin sukses.”
“Terima kasih, Nad. Kapan-kapan kamu tampil juga, ya?”
“Nggak ah, malu…”
“Hahahaha… Pokoknya harus mau.”
“Kamu lagi ngapain sekarang? Kok belum tidur. Ini kan udah jam 12 malam.”
“Lagi sibuk mikirin konsep buat acara lainnya. Lagian aku udah terbiasa tidur subuh.”
“Gara-gara konsep doang?”
“Nggak. Aku memang pengin sibuk biar nggak mikirin masalah lain.”
“Masalah apa?” tanyaku penasaran namun buru-buru kuralat. “Eh, kalo masalah pribadi nggak usah cerita deh.”
“Hehehehe…. oh iya, kita kenal di mana, ya? Masih ingat?” Dia mengalihkan pembicaraan.
“Di C Cafe pas ada festival band.”
“Oh iya, kamu tomboy banget waktu itu.”
“Hahaha. Iya sih. Btw, tahu nggak kalo dulu aku suka sama kamu?”
“Kamu tahu nggak kalo aku juga sama kamu?”
“Heh? Serius? Aku sering kirim salam buat kamu abis kita ketemu di C cafe itu.”
“Oh ya? Sama siapa?”
“Sama Lia.”
“Dia nggak pernah bilang apa-apa. Padahal aku suka nanya tentang kamu tapi katanya dia nggak pernah ketemu kamu.”
“Heh? Aku kan selalu sama dia waktu itu.”
“Pas kita ketemu di gereja itu. Aku makin suka. Apalagi rambut kamu udah panjang. Cantik. Tapi sayang aku terlanjur punya pacar.”
“Sama siapa?”
“Nita. Teman Lia.”
“Oh, pantesan salam aku nggak pernah sampe.” Aku tertawa miris. Ada rasa pedih mengetahui kebenaran yang sudah usang.
“Ah sudahlah. Udah lama banget. Emang nggak jodoh.”
“Iya. Andai punya mesin waktu Doraemon. Aku pengin balik ke waktu itu. Biar kita bisa pacaran.”
“Hahaha… Nggak mungkin lah.”

Alarm dari ponsel membuatku terbangun. Sudah pukul sepuluh. Baru beberapa hari datang ke kota ini siklus sirkadianku sedikit berubah. Biasanya aku terbangun tanpa bantuan alarm.
Tanganku langsung meraih ponsel. Tak ada pesan di Whatsapp. Sedikit rasa kecewa tebersit. Dia pasti sedang sibuk. Besok acara besarnya akan dihelat. Hari ini aku harus menahan diri untuk tak mengganggunya. Aku buru-buru bangun dan bersiap mandi untuk mengalihkan pikiranku. Untungnya hari ini ada janji bertemu dengan beberapa sahabat. Aku bisa menghabiskan hari dengan reuni tanpa memikirkan si lelaki jangkung.

“Kamu di mana?” Troy terdengar khawatir di ujung telepon.
“Masih di rumah. Ada masalah sedikit. Kayaknya agak terlambat ke sana. Nggak apa-apa, kan?” kataku yang masih duduk di tepian tempat tidur. Belum mandi. Belum menyiapkan pakaian. Sama sekali belum menyiapkan apa-apa untuk konser yang akan berlangsung beberapa saat lagi.
“Ok. Semoga masalahnya cepat selesai.” Aku merasa sedikit bersalah. Semoga aku tak mengecewakannya malam ini.

Troy terlihat mondar-mandir di pintu belakang gedung. Matanya berpindah antara jam tangan dan ponselnya. Sudah pukul setengah sembilan malam dan aku belum juga muncul.
Wajah Troy berbinar melihat sebuah sedan merah berhenti di parkiran. Aku turun sambil menenteng heels yang akan kukenakan nanti.

“Maaf baru bisa datang jam segini,” kataku sambil meringis. Troy malah terpaku. Dia seolah membatu menatapku.
“Troy!” tanganku melambai di depan wajahnya.
“Eh… i-iya. Ayo masuk. Kamu tampil sebentar lagi.”
Rasanya sekilas aku menangkap rona malu di wajahnya.

Aku menarik napas lega. Ternyata aku bisa tampil di depan puluhan orang tanpa mempermalukan diri. Aku memang tak bisa melihat reaksi para penonton karena sudut di mana bangku penonton berada cukup gelap. Cahaya terang hanya ada di area sekitar panggung. Aku hanya menangkap riuh tepuk tangan usai aku tampil.

Aku mengurut kaki yang pegal usai melepas heels. Hanya sepatu di kaki kanan. Sering memakai sepatu berhak tinggi tetap saja tak membuatku terbiasa. Aku memilih duduk di pojokan belakang panggung yang sepi. Di depan masih ramai dengan euforia usai konser.

“Tadi keren banget.” Aku sedikit terkejut mendapati Troy berdiri tak jauh dariku. Bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Makasih. Aku nggak nyangka responnya akan begitu.”
“Jadi udah pede kan sekarang kalo nyanyi di depan banyak orang?”
“Tetap masih canggung lah.” Aku mencoba tertawa. Kaku dan terdengar aneh. Karena Troy sudah berjalan mendekatiku yang duduk di kursi lipat. Aku buru-buru bangkit namun tak seimbangnya kaki sebelah yang tak memakai sepatu membuat tubuhku limbung. Tangan Troy cepat menangkapku.
“Kamu nggak apa-apa?”
Aku hanya terdiam menatap wajahnya yang begitu dekat. Embusan napasnya bermain di wajahku. Aku malah tak bisa bernapas. Udara di sekitarku seolah terisap habis karena tarikan napasnya.

Aku meringis kecil ketika kurasakan perih di kaki kiri. Tadi kupakai sebagai tumpuan yang malah membuatku hampir terjatuh.

“Duduk dulu. Kaki kamu kayaknya keseleo.” Dia memapahku kembali duduk. Tangannya segera meraih kakiku yang sakit.
“Seharusnya tadi hati-hati kalo berdiri.” Jemari Troy bermain di permukaan kulitku. Selama beberapa saat lagi-lagi momen membekukan lidah kami. Aku seolah larut dengan tindakan Troy. Menatap dirinya yang berlutut di hadapanku.

“Awww…” Aku meringis saat jemarinya menyentuh bagian yang sakit.
“Maaf.”
“Kayaknya udah cukup. Udah rada mendingan.” Aku menarik pelan kakiku dari pegangan tangannya. Mata kami beradu. Senyap melingkupi. Dan entah bagaimana, aku merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Lembut dan memabukkan.

Aku menarik tubuhku dengan cepat. Ada keterkejutan di wajahnya.

“Maafkan aku. Tadi itu refleks.”
“It’s okay.” Aku menelan ludah yang terasa kesat di tenggorokan.

Lagu Stay With Me dari Sam Smith mengalun dari dalam handbag. Aku mengambil ponsel dan bangkit sambil terpincang-pincang menjauhinya. Sedetik kemudian ponsel Troy ikut berbunyi.

“Halo,” jawabku mengangkat telepon.
“Lagi di mana, Ma?”
“Masih di acara, Pa. Sebentar lagi pulang.”
“Aku minta maaf tadi udah marah-marah sama kamu. Aku tahu seharusnya nggak egois.”
“Iya. Maafin aku juga, ya.”
“Love you, Honey.”
“Love you, too.”

Aku memandangi punggung Troy yang masih berbicara di telepon. Itu pasti panggilan dari istrinya. Aku memegang dadaku. Debarnya kali ini terasa menusuk dan sakit.

2 pemikiran pada “YANG (PERNAH) ADA DI ANTARA KITA

Tinggalkan komentar